Minggu, 01 Maret 2015

"Green School", Sekolah Peduli Lingkungan

SECARA arti kata green school adalah sekolah hijau. Namun dalam makna luas, diartikan sebagai sekolah yang memiliki komitmen dan secara sistematis mengembangkan program-program untuk mengintemali-sasikan nilai-nilai lingkungan ke dalam seluruh aktivitas sekolah. Karenanya, tampilan fisik sekolah ditata secara ekologis sehingga menjadi wahana pembelajaran bagi seluruh warga sekolah untuk bersikap arif dan berperilaku ramah lingkungan (Sugeng Paryadi, 2O08).
Melihat kondisi lingkungan sekitar saat ini, konsep sekolah hijau sangat penting untuk diimplementasikan secara lebih luas. Berbagai bencana alam yang terjadi seperti banjir, tanah longsor, dan sebagainya, sebagian besar diakibatkan oleh perbuatan manusia yang merusak ekosistem lingkungan. Selain berserah diri pada-Nya, tentu saja perlu dilakukan upaya penyadaran agar manusia makin ramah pada lingkungan.
Di sinilah, konsep sekolah hijau dalam menumbuhkan sikap peduli lingkungan melalui proses pembelajaran dan pembiasaan menjadi penting dan strategis. Di sekolah, proses pembelajaran mengarah pada upaya pembentukan perilaku siswa yang peduli lingkungan melalui model pembelajaran yang aplikatif dan menyentuh kehidupan sehari-hari. Sementara itu, lingkungan sekolah dijadikan wahana pembiasaan perilaku peduli lingkungan sehari-hari. Dengan demikian, kedua aspek tadi, menuju pada satu tujuan yaitu internalisasi atau pembiasaan perilaku peduli lingkungan dalam kehidupan sehari-hari.
Mengutip pendapat Sugeng Paryadi, penyusunan program sekolah hijau ini dilakukan secara holistik dengan mengaitkan seluruh program yang ada di sekolah serta mempertimbangkan faktor pendukung dan penghambat.
Potensi internal sekolah seperti ketersediaan lahan, sumber daya air, energi,
bentang alam, tradisi masyarakat sekitar, dan ekosistemnya merupakan objek pengembangan dalam konsep sekolah hijau. Sementara dalam pandangan LSM Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati), program sekolah hijau ha-rus mengembangkan (a) kurikulum berbasis lingkungan; (b) pendidikan berbasis komunitas; (c) peningkatan kualitas lingkungan sekolah dan sekitarnya; (d) sistem pendukung yang ramah lingkungan; dan (e) manajemen sekolah berwawasan lingkungan.
Implementasi sekolah hijau dilakukan dalam tiga langkah strategis yaitu pertama, bidang kurikuler, pembelajaran lingkungan hidup dilakukan secara terintegrasi dengan mata pelajaran yang ada. Guru harus pandai mengemas pembelajaran dengan pemahaman dan pengalaman belajar yang aplikatif. Kedua, bidang ekstrakurikuler yaitu mengarah pada pembentukan kepedulian siswa terhadap pelestarian lingkung- an melalui kegiatan penyuluhan lingkungan dan lomba karya lingkungan.
Ketiga, bidang pengelolaan lingkungan sekolah yaitu melalui (a) pemanfaatan dan penataan lahan sekolah menjadi laboratorium alam seperti menjadi kebun dan tanaman obat-obatan, ajakan hemat energi dan air, daur ulang sampah melalui proses reduce, reuse, dan recycle, serta (b) pengelolaan lingkungan sosial dalam bentuk pembiasaan perilaku-perila-ku nyata yang positif di antaranya kedisiplinan, kerja sama, kepedulian, kejujuran, dan menghargai kearifan lokaL
Lingkungan sekolah adalah lingkungan kehidupan sehari-hari siswa. Jika lingkungan sekolah dapat ditata dan dikelola dengan baik, maka akan menjadi wahana efektif pembentukan perilaku peduli lingkungan. Semoga. **


FOTO KEGIATAN GURU & SISWA
SMK NEGERI 1 BOYOLALI

Kegiatan Pelatihan Batik

Peringatan Hari Kartini

Prestasi Siswa SMKN 1 Boyolali

Wong Jawa Bakal
Ilang Jawane

APA bener wong Jawa iku bakal ilang Jawane?!
            Ilang Jawane tegese ilang sifat-sifat lan kepribadian kejawaane. Yen wis ilang Jawane kaya-kaya ya wis dudu wong Jawa maneh. Banjur wong Jawa iku dadi wong sing kaya apa? Wong Jawa diarani Jawa amarga nduweni sifat lan ciri-ciri tinartu. Upamane: wong Jawa iku basa ibune basa Jawa, kesenian, tradisi lan kabudayane tradisi, kesenian, lan kabudayan Jawa. Lha nek wis ora bisa basa Jawa, ora ngerti tradisi lan kesenian Jawa, ora tepung karo kabudayan Jawa, “gaya hidup”-e wis ora kaya salumrahe wong Jawa, apa ya isih bisa diarani wong Jawa?

            Rehne anak-putune wong Jawa, mesthine ya tetep wong Jawa. Sifat-sifat kang tumurun marang anak-putu bisa dibedakake dadi rong werna, yaiku warisan biologis lan warisan sosial utawa kabudayan. Satemene sing bisa diwariske langsung iku ya mung warisan biologis. Rehne turune wong Jawa ya nduweni sifat fisik lan biologis kadideme wong Jawa, upamane: kulite nyawo mateng, rambute ireng lurus, irunge rada pesek, lan liya-liyane. Dene warisan sosial iku warisan sing bisa diwarisi srana sinau utawa liwat sosialisasi. Tanpa sinau utawa srawung karo padha-padha wong Jawa, ya ora bisa basa Jawa, ora tepung karo kesenian Jawa.

            Warisan biologis iku wis kunandhut ana gen utawa bibite. Rehne bibite wong Jawa, ya marisi sifat fisik dalah potensi-potensi mental Jawa. Wong Jawa sing digulamenthah lan digedhekake ing kulawarga manca mung oleh warisan biologis, ora oleh warisan sosial.

            Lha gambarane wong Jawa sing wis ilang Jawane iku ya sing kaya ngono mau. Nanging keh-kehane wong Jawa sing urip ing satengahe bangsa lan kabudayaan liya, ya isih padha ngleluri kabudayane leluhure, upamane wong Jawa kang dedunung ana Suriname, wong Jawa sing daerah-daerah transrnigrasi ing luwar Jawa.

            Basa lan kabudayaan Jawa iku tansah ngrembaka lan owah-gingsir nuting jaman kelakone. Kabudayaan Jawa iku perlu diuri-uri supaya lestari lan isih tetep dadi warisan kanggo anak-putu, mung bae kabudayaan mau besuke mesthi wis beda karo kabudayaan Jawa saiki, nanging ora ateges menawa wong Jawa banjur ilang Jawane. Ya mung “Jawane” wong Jawa besuk mbokmenawa wis beda karo “jawane” wong Jawa saiki.

            Pancen ana bae wong Jawa sing ora njawani, sauger wong Jawa iku isih ana, kajawaane mbokmenawa uga tetep isih ana, Dadi, tetembungan “wong Jawa ilang Jawane” ora bisa disurasa kanthi wantah bae. Sing genah keiawaane wong Jawa iku owah-gingsir nuting jaman kelakone. Pamiara lan panguri-uri iku perlu, nurih kajawaan mau ora adoh mlencenge.

Hijab dalam Al-Qur’an

Makna hijab terdapat dalam surah An-Nur yang menyatakan : “Katakan kepada orang laki-laki yang beriman agar mereka menahan pandangannya dan menjaga kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka lakukan. Dan katakan kepada perempuan yang beriman agar mereka menahan pandangannya” (QS 33: 59). Atau surah Al-Ahzab yang menyatakan : “Wahai Nabi! Katakan kepada istri-istrimu dan putri-putrimu serta perempuan-perempuan yang beriman agar mereka mengulurkan jilbab mereka. Dengan demikian mereka lebih mudah dikenali sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun dan Maha Pengasih” (QS 33: 59).
Makna & Fungsi Hijab
Apakah setiap perempuan diwajibkan untuk menutup auratnya? Apakah setiap perempuan hanya harus di balik tirai, tidak keluar rumah, bahkan tidak boleh tampil di masyarakat? Dan apakah perempuan dan laki-laki boleh bersentuhan dan sebagainya? Hijab dalam Islam dimaksudkan untuk membatasi antara perempuan dan laki-laki serta melindungi dari perzinaan. Hijab dimaknai pula untuk menjaga keharmonisan keluarga terutama suaminya. Dalam Islam, dibatasi segala jenis kenikmatan seksual hanya pada keluarga, lebih tepatnya dalam ikatan pernikahan. Ini jelas berbeda dengan dunia Barat dengan gaya hidup seks bebasnya. Adapun fungsi dari berhijab adalah sebagai berikut;
1) Hijab Menenangkan Jiwa
Hijab dapat menghindarkan seseorang dari pergaulan bebas. Sebagian orang yang telah kaya raya berhasrat untuk menimbun lebih banyak kekayaannya lagi dan lagi. Hal ini sama seperti dengan hasrat seksual seseorang yang tidak ada habisnya. Islam mewajibkan agar perempuan menutup auratnya untuk melindungi dirinya. Perempuan dan laki-laki tidak boleh saling melirik mata dan memandang dengan penuh nafsu birahi. Pengendalian hasrat berlebih dan nafsu birahi ini dapat menenangkan jiwa manusia.
2) Hijab Sebagai Harmonisasi Keluarga
Hijab dapat menjaga keharmonisan keluarga. Maksudnya adalah untuk mempertahankan hasrat seksual suami hanya untuk istrinya semata. Berbeda dengan pergaulan bebas yang menganggap bahwa pasangannya hanyalah pesaing dan sebagai pemuas seks belaka.
3) Hijab Meningkatkan Produktivitas Masyarakat
Kita seringkali mendengar bahwa perempuan yang memakai hijab menganggu stabilitas baik itu bidang ekonomi dan sosial dalam masyarakat. Padahal penggunaan hijab untuk membatasi perempuan dan laki-laki dalam pemenuhan hasrat seksualnya dalam lingkungan kerja. Islam tidak melarang perempuan untuk tampil di masyarakat apalagi dalam dunia politik dan bisnis. Islam tidak mengiginkan perempuan hanya diam mengurusi anak-anaknya dan tidak berguna di masyarakat.
4) Hijab Memuliakan Wibawa Wanita
Dengan hijab, perempuan terlihat berwibawa. Hal ini dikarenakan dengan berhijab perempuan menutup auratnya dan mencegah pandangan serta hasrat seksual terhadap lawan jenisnya. Sama halnya seperti etika bertamu pada zaman Rasulullah. Rasulullah menganjurkan agar memberi salam sebanyak tiga kali dalam bertamu dan apabila tidak ada jawaban kita kembali. Dalam penerapan hijab, perempuan yang berada di dalam rumah adalah tidak ingin terlihat oleh orang yang bukan muhrimnya. Perempuan dan laki-laki dihadapkan pada menahan pandangannya dan menjaga kemaluannya dari perzinaan.
Hijab adalah salah satu cara kita taat kepada Allah.
PENERAPAN NILAI-NILAI BUDI PEKERTI DISEKOLAH

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di era global saat ini patut dicermati. Sebab kemajuan tersebut tidak hanya mendatangkan kemanfaatan bagi kehidupan manusia, tetapi juga membawa dampak negatif bagi manusia itu sendiri. Seperti misalnya kemajuan teknologi informasi, disamping bermanfaat mengakses informasi dengan cepat dalam waktu singkat, juga dapat memberi peluang dan mendorong seseorang untuk melakukan tindakan – tindakan kejahatan. Seseorang dengan mudah membuat janji atau merencanakan sesuatu melalui percakapan HP atau melalui SMS. Begitu pula halnya anak – anak dan remaja, melalui berbagai media dengan mudahnya terangsang pola hidup konsumerisme yang berlebihan hingga terjerumus ke pola hidup hedonisme, yakni hidup dengan memikirkan kepuasan dan kenikmatan semata – mata tanpa memikirkan kepuasan dan kenikmatan semata – mata tanpa memikirkan akibat selanjutnya. Dan pola hidup remaja seperti itu tentunya akan menimbulkan masalah–masalah sosial di masyarakat.

Masalah sosial anak–anak dan remaja, atau lebih menukik lagi prilaku yang menyimpang dari sebagaian kecil remaja dapat berupa: (1) kebiasaan merokok; (2) minum – minuman keras/mabuk–mabukan; (3) menggunakan narkotika atau zat Aditif lainnya; (4) melakukan sex bebas atau sex pranikah; dan (5) melakukan tindak kekerasan, solidaritas geng. Semua tindakan itu mereka lakukan tentu karena ada latar belakangnya. Tindakan yang dilakukan para remaja tersebut bukanlah berdiri sendiri.
Sesungguhnya ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya prilaku menyimpang dari remaja. Faktor penyebab tersebut antara lain; 1) kurangnya perhatian dari orang tua, karena kesibukan, keluarga kurang harmonis; 2) pengaruh lingkingan, lingkungan pergaulan/pengaruh teman; 3) tayangan televisi (iklan, sinetron, adegan kekerasan, kemewahan, prilaku prematur misalnya: Siswa SD /SMP diceritakan sudah pacaran); 4) akses internet (adegan/gambar forno); 5) akses media yang lain, majalah, koran, CD Porno; 6). belum mantapnya pendidikan budi pekerti.

Dalam mengatasi permasalahan remaja maka peran keluarga tidak dapat dinisbikan. Keluarga memiliki peran yang sangat strategis dalam membentengi serta mendidik anak – anak dan remaja. Mendidik anak dengan baik sesungguhnya sama pahalanya dengan menghormati orang tua dan leluhur, yakni seseorang akan memperoleh ; 1) Kirti atau mendapat pujian tentang kebaikan 2); Ayusa yaitu kehidupan dengan usia panjang dan sehat; 3) Bala memiliki kekuatan dan kemampuan; 4) Yasa yakni pengabdian yabg tidak tercela (sarassamuccaya 250).

Orang tua atau keluarga memiliki tiga kewajiban pokok terhadap anak agar nantinya bisa menjadi Suputra. Tiga kewajiban yang disebut Tri Kang Sinanggeh Dharmaning Wwang Tuha sedapat mungkin dilaksanakan dengan baik, meliputi; 1) Wineh Bhoga paribhoga yakni kewajiban orang tua untuk memberikan sandang, pangan, papan yang layak untuk anak – anaknya; 2) Wineh Upapira yaitu kewajiban orang tua untuk melakukan upacara Yadnya (Samskara) untuk anak–anaknya; 3) Wineh Kawerahan yakni orang tua wajib mengusahakan pendidikan dan pengetahuan yang layak untuk anak – anaknya.
Nilai–nilai Budi Pekerti dan Pendidikan Nilai–nilai Kemanusiaan

Nilai – nilai Budi Pekerti sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan Pendidikan Nilai – nilai Kemanusiaan. Nilai–nilai Budi Pekerti atau umum disebut Pendidikan Budi Pekerti juga erat kaitannya dengan pendidikan moral, Etika, Tata Krama, dan didalam ajaran agama Hindu disebut Tata Susila Hindu Dharma. Semuanya itu mengacu pada pembentukan karakter atau watak manusia ke arah yang lebih mulia. Pendidikan tanpa mengupayakan pembentukan karakter tidak ada gunanya. Pendidikan yang baik atau pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang berkeseimbangan antara pendidikan berpikir (pendidikan sains) dan pendidikan kemanusiaan (pendidikan humaniora). Keseimbangan ini akan diperoleh melalui proses pembelajaran yang menekankan pada: 1) Olah batin, melalui pembelanjaran kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; 2) Olah hati, melalui pembelanjaran kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; 3) Olah rasa melalui pembelajaran kelompok mata pelajar estetika; 4) Olah pikir, melalui pembelajaran kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; 5) Olah raga, melalui pembelajaran kelompok mata pelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan.
Pendidikan yang berkeseimbangan tersebut memungkinkan pengembangan fungsi otak kiri dan otak kanan yang seimbang. Pengembangan fungsi otak kiri yang berkecendrungan pada pola berpikir rasional, logis, linier, dan skuensial. Sedangkan pengembangan fungsi otak kanan berkecendrungan pada pola pikir acak, tidak teratur, intuitif, dan holistik. Kedua hal ini harus dikembangkan secara simultan dan seimbang.

Penerapan Nilai – nilai Budi Pekerti dalam Persiapan KBM

Nilai – nilai Budi Pekerti dalam persiapan kegiatan belajar mengajar (KBM) dapat diterapkan melalui beberapa cara antara lain:
1) Membudayakan siswa untuk selalu bertanggung jawab terhadap penataan ruang kelas termasuk memperhatikan kebersihan, kerapian dan kenyamanan kelas. Guru hendaknya mampu menekankan bahwa kebersihan adalah sebagian dari sradha dan bhakti kita kepada Ida Shangyang Widhi.
2) menanamkan kebiasaan pada siswa untuk selalu memperhatikan kelengkapan sarana di ruang kelas. Dengan demikian berarti siswa telah memberikan pelayanan kepada guru dan kepada teman sekelas. Tekankan bahwa pelayanan adalah Yadnya yang utama (servise is the best worship). Dan dengan mengupayakan kelengkapan sarana belajar di ruang kelas berarti kita sudah menyenangkan orang lain (agawe sukhaning wong len).
3) di kelas rendah misalnya di SD kelas I, II dan III maka penanaman Nilai – nilai budhi pekerti dapat dilakukan dengan: berdoa, duduk diam, bernyanyi bersama, mesatua atau bercerita tentang kebaikan dan keburukan, tentang kepahlawanan dan juga melalui kegiatan – kegiatan kelompok lainnya.
4) usahakan dalam mempersiapkan KBM, di awal tahun ajaran baru nebjadi pengalaman pertama yang terkesan dan menyenangkan bagi siswa. Guru hendaknya mampu menjadi figur yang dapat diteladani, baik dalam berprilaku, berpenampilan maupun bertutur kata. Tutur kata yang sopan, manis, lembut dan menyenangkan akan mampu menyentuh nurani siswa untuk berbudi pekerti yang luhur.
Penerapan Nila- nilai Budi Pekerti dalam KBM
Sesungguhnya penerapan Nilai–nilai Budi Pekerti dapat dilakukan dalam setiap kegiatan belajar mengajar (KBM) dari seluruh mata pelajaran di kelas. Namun demikian diperlukan kecermatan dari guru untuk membuat jaring – jaring tema, atau paling tidak guru mampu melaksanakan pembelajaran dengan pendekatan CTL (contextual teaching and learning).

Secara umum penerapan Nilai–nilai Budi Pekerti dalam KBM dapat dilakukan melalui uapaya – upaya sebagai berikut:
1). Membudayakan salam pertemuan / salam penghormatan dengan mengucapkan panganjali “Om Swastyastu” untuk melalui semua mata pelajaran
2) Menanamkan sifat ketulusan hati dan kesungguhan dalam mengikuti setiap mata pelajaran. Sebab ketulusan adalah landasan dari yadnya. Tanamkan bahwa belajar, bekerja, mengajar, melayani, semua itu adalah yadnya.
3) Menanamkan sikap yang baik, luwes dan nyaman ketika membaca (mengatur jarak buku dengan mata, membaca dengan sopan, tidak dengan suara keras); sikap etika bertanya atau interupsi dan sikap empati serta simpati ketika mendengarkan orang lain berbicara. Disini ajaran Tri Kaya Parisudha dapat diimplementasikan melalui hal – hal yang sederhana.
4). Memupuk sikap dalam bekerjasama atau dinamika kelompok dalam hal ini diperlukan rasa saling menghargai, kesiapan untuk menerima dan memberi. Secara tidak langsung ajaran Tat Twan Asi telah diterapkan disini. Dalam dinamika kelompok lebih – lebih dalam diskusi/ bermusyawarah ada doa–doa dalam Reg Weda, agar bisa disatukan dalam pikiran, dalam perkataan dan dicapainya kata mufakat.
5) Dalam KBM hendaknya selalu menekankan kejujuran, kebenaran (satya), baik itu dari pihak guru ketika mengajar maupun dari siswa, lebih – lebih ketika tes ulangan tau ujian.
6). Guru hendaknya memahami tentang sistem aguron – aguron dalam agama Hindu dimasa lampau (seperti yang termuat dalam Silakarma, dan juga dalam Ephos Mahabharata dan Ramayana dll) untuk kemudian dapat menjadikannya referensi dalam KBM yang dilakukan saat ini.

Penerapan Nilai – nilai Budi Pekerti dalam Pergaulan di sekolah

Penerapan Nilai – nilai budi pekerti dalam pergaulan di sekolah dapat dilakukan melalui :
1) Pembiasaan prilaku sadha kerti atau keteladanan orang bijak yakni : hening, selalu mengupayakan keheningan/kejernihan; hening, selalu ingat pada Hyang Widhi, ingat keluarga dan ingat tugas kewajiban; heneng, selalu mengupayakan ketenangan, hawas, selalu waspada dan mampu mengantisipasi keadaan yang akan datang.
2) Menanamkan sifat dan sikap sopan santun sedini mungkin pada siswa, jadikan ajaran Tata Susila Hindu sebagai acuan; misalnya mengutif ajaran Susila itu dijadikan slogan, lalu memajangnya pada tempat – tempat yang pantas.
3) Mewajibkan siswa memakai pakaian adat Bali pada setiap kegiatan yang terkait dengan pengembangan muatan lokal, seperti ekskul mulok mejejahitan, kidung kekawin, tari dan tabuh.
4) Mewajibkan siswa memakai pakaian adat ke pura setiap Purnama. Tilem dan hari–hari suci Hindu lainnya. Kemudian di sekolah dilakukan persembahyangan bersama.
5) Pembiasaan pada siswa masing–masing kelas supaya ada piket ngaturang canang/ mebanten pada pelangkiran di kelas.
Sesungguhnya begitu banyak nilai–nilai budi pekerti yang bisa diterapkan dalam proses pembelajaran di sekolah. Sekarang tergantung pihak sekolah dan guru. Mau dan mampukah mempasilitasi serta mengimplementasikan hal itu. Jawabnya sangat relatif, karena untuk semua itu diperlukan dukungan dari semua komponen terkait. Betapapun baiknya pendidikan budi pekerti di sekolah bila tanpa dukungan berupa keteladanan dari orang – orang dewasa disekitar siswa, maka semua itu tidak akan ada artinya. Untuk itu perlu ada sinergi dan komitmen untuk merevitalisasi dan ,ereaktualisasikan kembali Pendidikan Budi Pekerti itu sendiri.

Oleh: Drs. I Wayan Darma, M.Si.
Pengawas SMP/SMA/SMK Disdikpora Kab. Karangasem - Bali